Situs Gua Harimau Sumsel

Gua Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau, itu pula nama resmi yang sejak tiga tahun lalu masuk dalam peta penelitian arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan kalangan ilmuwan memang menggunakan kata “gua” (juga dalam pelafalannya, seperti juga tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan bukan “goa” (istilah yang sebetulnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia baku sehingga seharusnya dihindari, tetapi masih kerap dipakai) untuk menyebut liang atau lubang besar di kaki perbukitan.

Disebut Gua Harimau, konon—menurut para penduduk setempat—gua ini pernah menjadi tempat harimau berdiam. Lokasi gua cukup tersembunyi di lereng perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan penuh semak belukar di jalan setapak yang terjal menutup lereng bukit. Di bawahnya, sungai kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Basah) mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan.

Gua Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Namun, bagi para ahli arkeologi, Gua Harimau jadi istimewa karena—dari hasil ekskavasi sementara—selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat lukisan prasejarah.

Terkait keberadaan lukisan gua (art rock) itu, Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, bahkan menyebutnya sebagai temuan yang sangat spektakuler. Anggapan disampaikan karena selama ini ada semacam keyakinan di kalangan arkeolog bahwa di bagian barat Indonesia (baca: Jawa dan Sumatera) tidak tersentuh budaya lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil penelitian sejak puluhan tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan gua di wilayah Indonesia bagian timur.

“Akan tetapi, penemuan ini telah membalikkan anggapan tersebut, bahkan mengubah pandangan lama terkait zona sebaran lukisan gua di Asia Tenggara,” kata Truman Simanjuntak.

Sebelumnya, dari sekitar 20 gua di kawasan ini yang telah dieksplorasi oleh tim Puslitbang Arkenas bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perancis untuk Pembangunan atau Institut de Recherche pour le Developpement (IRD) pada awal tahun 2000-an, tidak satu pun yang menyimpan lukisan gua. Temuan yang diperolah hanya jejak-jejak hunian manusia dari rentang 9.000-2.000 tahun lalu.

Baru pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo yang bertindak sebagai ketua tim secara tidak sengaja menemukan sejumlah guratan di dinding dan langit-langit bagian timur laut Gua Harimau. Setelah diamati lebih cermat, guratan-guratan merah kecokelatan yang tak begitu jelas bentuknya itu tak lain adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai lukisan prasejarah.

Sementara dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim yang telah mengupas lapisan tanah hingga kedalaman 90 sentimeter menemukan belasan rangka manusia. Hasil identifikasi Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua Harimau adalah ras Mongoloid.

Dua jenis temuan (rangka manusia dan lukisan prasejarah) ini, berikut artefak-artefak pendukungnya, dinilai sangat penting sebagai bahan dasar untuk merekonstruksi sejarah peradaban prasejarah di kawasan ini pada khususnya dan Sumatera pada umumnya.


Sang Pendahulu

Berbeda dibandingkan dengan keberadaan manusia prasejarah di Pulau Jawa pada umumnya—sebutlah seperti Pithecanthropus erectus ataupun Homo soloensis dan Homo mojokertensis sebagai bagian dari Homo erectus—yang populasinya diperkirakan musnah pada kala Pleistosen, daur hidup ras Mongoloid dari Gua Harimau justru terus berlanjut. Begitupun manusia ras Mongolid prasejarah di wilayah Nusantara lainnya, yang masuk ke Nusantara sejak 4.000 tahun lalu.

Ras Mongoloid yang membawa budaya tutur Austronesia ini pada tahap evolusi berikutnya membangun peradaban baru: meninggalkan gua dan mulai mengembangkan tradisi bercocok tanam di perladangan. Tentu hal itu dalam wujud yang paling sederhana, sembari tetap meneruskan tradisi para pendahulunya sebagai manusia pemburu-peramu.

Sisa-sisa gerabah di antara alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta batuan lain yang ditemukan dalam ekskavasi, menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki kemampuan memanfaatkan alam lingkungan sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Dikaitkan dengan temuan kubur-kubur yang berorientasi timur-barat sebagai simbol siklus kehidupan, juga keberadaan lukisan yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua, menguatkan dugaan bahwa mereka sudah mengenal kehidupan yang lebih kompleks daripada sekadar manusia pemburu-peramu.

Oleh karena itu, baik Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak sepakat bahwa kehadiran mereka sekaligus menandai awal keberadaan nenek moyang bangsa ini. Kelompok ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada 4.000-3.500 tahun lalu, setelah kedatangan migrasi pertama kelompok ras Australomelanesid pada akhir Zaman Es sekitar 11.000 tahun lalu, inilah yang menghadirkan budaya tutur Austronesia; cikal bakal nenek moyang bangsa ini.

“Mereka adalah leluhur bangsa Indonesia sekarang,” kata Truman Simanjuntak. “Saya percaya sisa-sisa (rangka) manusia dari Gua Harimau termasuk para penghuni awal manusia di Sumatera,” kata Harry Widianto.

Kenyataan ini seharusnya makin menumbuhkan kesadaran ke-“bhinekatunggalika”-an kita sebagai bangsa. Dalam persebarannya di Nusantara, tiap kelompok beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda sehingga lambat laun melahirkan keragaman fisik dan budaya. Selanjutnya terjadi apa yang kemudian kini dikenal sebagai masyarakat yang plural dan multikultur.

“Inilah hakikat penting belajar prasejarah, yakni untuk memahami latar belakang keberadaan kita pada masa sekarang serta memberi arah dan nilai pada kehidupan masa depan,” ujar Truman Simanjuntak.

Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga “sang majikan” yang dikubur di atas keduanya.

Posisi penguburan yang unik sekaligus menimbulkan tanda tanya. Mungkinkah dalam sistem penguburan pada masa itu, antara 3.500 dan 2.000 tahun lalu, manusia prasejarah di Nusantara telah mengenal strata sosial di mana apabila ada tokoh atau orang-orang tertentu meninggal, maka perlu ada tumbal yang harus ikut dikubur? Mungkinkah sudah ada kepercayaan kehidupan setelah mati di alam lain sehingga “sang majikan” tetap perlu dilayani pascakematiannya?

“Segala kemungkinan selalu ada, tetapi yang pasti seluruh rangka manusia dari Gua Harimau merupakan ras Mongoloid,” kata Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Harry begitu yakin temuan “kuburan” massal di Gua Harimau adalah sisa-sisa rangka manusia prasejarah dari ras Mongoloid. Keyakinan itu berangkat dari ciri-ciri morfologis rangka temuan, terutama dari bentuk tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid.

“Ciri-ciri morfologisnya memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid,” kata Harry.

Siklus kehidupan Individu-individu itu umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan barat (kaki). Lewat penguburan semacam ini, patut diduga bahwa mereka sudah mengenal semacam filosofi tentang siklus kehidupan. Arah timur sebagai lokasi kepala adalah arah matahari terbit, sedangkan barat sebagai arah kaki adalah arah matahari tenggelam. Dalam konteks ini, penguburan dengan orientasi semacam itu mengacu pada asal mula (timur) dan akhir (barat) dari kehidupan.

Filosofi itu juga tecermin dari adanya penguburan terlipat, yang menggambarkan posisi bayi di dalam perut sebelum ia dilahirkan. Dengan mengubur secara terlipat diharapkan pada saat kematian yang bersangkutan telah dibebaskan dari segala belenggu duniawi dan dikembalikan pada kehidupan awal pada saat dia mati.

“Dengan demikian, posisi penguburan terlipat tersebut mengisyaratkan individu tersebut kembali suci pada saat dia meninggal,” tutur Harry Widianto.

Melalui temuan ini, teori baru tentang alur migrasi manusia prasejarah pendukung budaya Austronesia ke Nusantara perlu dibangun kembali. Paling tidak, teori lama bahwa “pendudukan” Sumatera oleh ras Mongoloid dari daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi—kemudian dalam perjalanan migrasi mereka selanjutnya ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera, dan Jawa (dikenal sebagai teori “Out of Taiwan”)—bukanlah satu-satunya kebenaran.

Sebab, temuan-temuan rangka manusia berikut artefak tinggalan budaya mereka di kawasan perbukitan karst Padang Bindu, Sumatera Selatan—juga temuan semasa di Ulu Tijanko, Jambi—menunjukkan usia yang sama tuanya (sekitar 3.500 tahun) dengan budaya Austronesia di Sulawesi, misalnya. Tafsir baru yang dapat dimajukan adalah bahwa sejak awal persebaran ras Mongoloid tidak hanya terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi juga di bagian barat melalui daratan Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa.

“Sisa-sisa rangka manusia di Gua Harimau, juga di Pondok Selabe dan Gua Putri yang masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan ’jalur baru’ tersebut,” kata Harry.

Patut diduga mereka inilah para penghuni awal Sumatera. Dalam tahap evolusi lebih lanjut, beribu-ribu tahun kemudian—setelah menanggalkan status sebagai “manusia gua” dengan hidup dan menetap di lembah dan dataran yang lebih luas—mereka pun membangun kebudayaan baru di daratan yang kini disebut sebagai Pulau Sumatera. Dan, Gua Harimau adalah salah satu lokasi kuburan para leluhur orang-orang Sumatera itu. (kompas)

Satu pemikiran pada “Situs Gua Harimau Sumsel

Tinggalkan komentar