Museum Batak Balige

Museum Batak Balige didirikan oleh TB Silalahi pada Februari 2010 dan resmi dibuka Presiden SBY pada 18 Januari 2011. Terdiri dari 3 lantai Museum Batak setidaknya menyimpan dan memamerkan lebih kurang 1.000 koleksi artefak dan peninggalan sejarah 6 puak Batak. Yakni Batak dari Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing. Baca lebih lanjut

Candi Portibi

Ada peradaban yang terpenggal di lembah-lembah sungai Batang Pane, Barumun dan Sirumambe, kabupaten Tapanuli Selatan. Di sini ditemukan lapangan situs candi yang sejarahnya masih simpang siur. Tidak ada catatan resmi yang bisa dipakai sebagai pegangan. Candi-candi yang kemudian lebih dikenal sebagai candi Bahal tersebut diperkirakan sezaman pembangunannya dengan candi Muara Takus di Riau, yakni sekitar abad XII.

Para peneliti mengungkapkan, candi-candi di desa Bahal adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km2 di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Dari tiadanya situs patung Buddha di sekitar candi, pernah ada dugaan bahwa candi Bahal atau yang biasa disebut warga lokal sebagai “biaro”, tidak dibangun oleh umat Buddha. Memang, satu-satunya ornamen yang tertinggal sebagai simbol-simbol pemujaan adalah patung singa dan pahatan-pahatan aneh di dinding candi. Baca lebih lanjut

Kesawan, Sepotong yang Tersisa dari Parisj van Sumatra

Jika Bandung pernah digelari sebagai Parisj van Java, maka Kota Medan pernah disebut-sebut sebagai Parisj van Sumatra. Sebutan Paris sebagai kota terindah di eropa pada zaman kolonial tersebut memang ditorehkan pada Medan karena rupanya yang maju dengan sederet bangunan bercorak art deco eropa. Meskipun tidak sebaik dulu, namun sisa bangunan tua yang artistic tersebut masih bisa dilihat hingga saat ini, khususnya di daerah Kesawan, pusat kota Medan. Daerah Kesawan ini bisa dikatakan sebagai kawasan kota tua di Medan.

Sejarahwan, Drs H Muhammad Tok Wan Haria yang lebih dikenal dengan nama Muhammad TWH mengatakan, nama “Kesawan” sudah berumur sangat tua. Nama itu diambil dari bahasa karo (sub etnik Batak di Sumut) dari akar kata “kesawahen” yang artinya adalah kampung. Kesawahen bisa juga berarti halaman atau lapangan besar untuk tempat pertemuan, menyabung ayam, lomba lari, rapat dan berburu. Bahkan, lanjut dia, oleh Puak Karo dari Tanah Karo, mengatakan bahwa kata “Medan” itu adalah perubahan dari bahasa Karo yang diistilahkan sebagai “Mesawang” dan akhirnya menjadi kesawan.

Sejarahwan lain, Tuanku Luckman Sinar Basarshah-II SH, berpandapat sama soal nama itu, walau dengan makna yang berbeda. Menurut Luckman, “kesawahen” bermakna ke sawah. Lalu artikulasi masyarakat pun berubah-ubah hingga akhirnya menjadi Kesawan. Menurut versi Luckman, Kesawan dibuka pada zaman cicitnya Guru Patimpus bernama “Masannah” yang merupakan Datuk pertama Kesawan. Bersama adiknya, Ahmad, mereka membuka kawasan Jalan Jendral A Yani atau yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kesawan.
Baca lebih lanjut

Mengusung Wisata Budaya Dengan Keaslian

Kekayaan bangunan tua dengan arsitektur kuno Melayu, Tionghoa, dan Eropa segera hilang dari Medan. Sebuah kongres besar pariwisata budaya pun digagas untuk menyelamatkan peradaban.

“Saya lahir dan besar di Medan. Sampai saat ini pun hidup di Medan. Namun, saya merasa semakin jauh dengan Medan,” ucap Zulkarnaen Siregar, seorang peserta acara Diskusi Cultural Tourism at Challange yang diadakan Badan Warisan Sumatera (BWS) di Gedung Balaikota Medan, Jumat (19/2) lalu.

Ucapan Zulkarnaen boleh jadi mewakili suara mayoritas warga Medan yang memiliki keperdulian tapi tak memiliki akses untuk membuat kota ini mempertahankan pusaka peninggalan masa lalunya. Tak sedikit dari warga perduli ini akhirnya apatis dan menyerahkan nasib Medan kepada penguasa dan politisi.

Menelusuri Sejarah, Mempertahankan Identitas
Sofyan Tan dalam pengantar diskusi mengatakan, pembangunan Medan menuju metropolitan selama ini telah melupakan dan meninggalkan identitas. “Modern boleh, tapi identitas perlu dipertahankan,” tegas tokoh pluralisme Medan ini.

Upaya mempertahankan identitas ini, lanjut Sofyan Tan, dapat dilakukan dengan memanfaatkan situs-situs sejarah yang menyimpan cerita kelahiran dan perkembangan kota Medan. Salah satunya adalah dengan mengadakan kegiatan telusur Sungai Deli bagi anak-anak sekolah.
Baca lebih lanjut