Leluhur Pembuka Lahan Perkebunan

Majunya industri perkebunan di Sumatera Utara, tidak terlepas dari peran masyarakat tionghoa di masa lampau. Sebab, di awal perkebunan dibuka pada tahun 1870-an, ribuan masyarakat tionghoa yang berasal dari Semenanjung Malaysia dan China Selatan berimigrasi dan menjadi buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

Di tahun 1870-an, merupakan awal perkebunan di kawasan Sumatera dibangun tepatnya di kawasan Sumatera Timur. Para planters (pemilik kebun) mencari pekerja atau buruh yang berasal dari luar negeri. Para planters ini mencari buruh dari luar karena masyarakat Sumatera memiliki karakter yang berbeda, sehingga para pemilik kebun ini butuh buruh yang dapat bekerja keras untuk membuka lahan perkebunannya, makanya karena masyarakat China termasuk yang bertipe pekerja keras makanya diambillah buruh dari sana awalnya dari Semenanjung Malaysia.

Setelah melihat hasil kerja dari buruh China ini yang begitu tekun, rajin dan giat, makanya para planters yang berasal dari Belanda, Inggris, Amerika dan Cheko kembali berinisiatif untuk merekrut buruh China. Apalagi, perkembangan perkebunan juga semakin meluas sementara kebutuhan SDM pembuka lahan perkebunan masih begitu minim, maka kembali direkrut buruh China langsung dari China Selatan.

Ada Politik Ras
Dulu buruh yang didatangkan dari negeri China ini mayoritas bujangan dan usia muda, mereka digambarkan merupakan lelaki tionghoa yang berkucir, mereka hidup secara bergerombolan di dalam satu perkebunan. Dalam sejumlah referensi disebutkan sejak tahun 1870-an hingga tahun 1920, tercatat buruh China yang bekerja di perkebunan tembakau di Sumatera Timur mencapai hingga 300 ribuaan orang. Banyaknya buruh dari China ini akhirnya menjadi kekhawatiran tersendiri dari para pemilik kebun, kalau nantinya buruh akan membentuk solidaritas yang akan melawan dominasi capital di masa itu. Makanya, secara perlahan perekrutan buruh China mulai dikurangi agar tidak terjadi dominasi buruh China di perkebunan.

Di masa itu para planters merasa takut kalau jumlah buruh china yang cukup banyak ini akan membentuk solidaritas. Sehingga dilakukanlah kebijakan politik ras untuk memperlemah solidaritas dan ternyata upaya untuk mengurangi dominasi buruh China cukup efektif untuk memperlemah solidaritas mereka yang dikhawatirkan dapat melawan dominasi capital. Kebijakan pemilik kebun di masa itu begitu tinggi, bahkan pemerintah colonial juga tidak mampu menghempangnya. Di masa itu juga di setiap masing-masing perkebunan memiliki kebijakannya tersendiri, sehingga terkesan ada Negara di dalam negera.

Kebijakan politik ras inilah yang membuat di tahun 1880-an, perekrutan buruh cina mulai dikurangi. Digantikan dengan buruh yang berasal dari Jawa, Madura, Bawean dan Tamil. Ditambah lagi, di masa itu, perkembangan perkebunan meluas, tidak lagi perkebunan tembakau tetapi juga dikembangkan perkebunan sawit, teh dan karet. Namun, meskipun sudah terjadi perekrutan buruh perkebunan dari daerah lain, tetap saja asimilasi di antara buruh China, maupun dari Jawa dan daerah lain itu tidak terjadi.

Para pemilik kebun menerapkan kebijakan buruh Cina bekerja di perkebunan tembakau, sedangkan pembangunan infrastruktur dilakukan buruh Tamil dan selebihnya perkebunan lainnya yakni kebun the, sawit dan karet dikerjakan buruh Jawa. Dalam literature sejarah dikisahkan, leluhur masyarakat tionghoa ini di Sumatera hingga sekarang, begitu terkenal sebagai manusia pekerja keras, mereka juga sangat adaktif terhadap kondisi dan zaman agar mereka bisa hidup survive.

Para pemilik kebun itu sangat kejam di masa itu, jika ada buruh yang melakukan kesalahan maka akan dihukum kakinya diikat dengan rantai dan bola besi dan rambut kuncirnya diikat ke papan pancung, begitulah kisah kuli Cina di masa itu. Belum lagi, para buruh inilah yang membuka hutan untuk dijadikan perkebunan sawit. Literature sejarah buruh China ini tertera dalam buku Chinese Immigrants to East Sumatera dan buku Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera yang ditulis oleh Anthony Reid.

Dalam buku yang ditulis Anthony Reid, dikisahkan pada masa perkebunan asing di Sumatera Timur dibentuk, penduduk pribumi Batak dan Melayu yang hidup di Sumatera Timur dianggap seperti tidak ada dimata kaum kapitalis Eropa pada akhir abad ke-19. Perkebunan ini adalah daerah perjuangan hidup baru yang citra pentingnya ialah seorang tuan kebun berkulit putih dan sejumlah kuli-kuli Cina yang penuh keringat membanting tulang dan mencangkul tanah subur pegunungan.

Dalam masa pertama pembukaan lahan perkebunan di Sumatera Timur merupakan hutan belantara dan di tahun itu 1870 kuli-kuli Cina ini telah dibeli dengan harga yang tinggi dari tengkulak-tengkulak Cina di Singapura dan Penang untuk menundukkan alam hutan yang ganas itu. Sejak tahun 1888 perusahaan-perusahaan perkebunan tembakau Deli telah memasukkan sekitar 7000 kuli dalam setahun langsung dari negeri Cina. Sekitar setengah juta orang Cina telah dimasukkan ke Sumatera Timur sampai menjelang tahun 1930. Berdasarkan kontrak kerja, puncak-puncak tertinggi jumlah ini adalah pada akhir tahun 1890-an yaitu pada masa-masa melonjaknya harga tembakau yang mencapai jumlah angka 20.000 kuli berbangsa Cina dalam setahun. Perkebunan-perkebunan kopi yang dibuka pada tahun 1890-an dan perkebunan-perkebunan karet, the, kelapa sawit berkembang cepat sesudah tahun 1900 bergantung sepenuhnya pada pekerja-pekerja Jawa. (Anggia Nasution)

Tinggalkan komentar